20.25

Catatan Novel Iluminasi

Iluminasi, sebuah novel indah dalam tata bahasa, menghadirkan beberapa kesegaran baru pada ranah sastra kontemporer.

Lewat cerita superhero, saya mencatat beberapa hal menarik yang dapat membongkar asal-usul timbulnya ide dan munculnya karakter dalam novel tersebut. Pertama, Di awal pembacaan saya tertarik dengan jumputan nagam (untaian kata mutiara) pada tiap babnya, ini menjadi pengikat isi dari setiap tulisan pada bab tersebut. Lihat saja kata-katanya “jika seluruh hidupmu kau lesakkan dalam satu benda. Terpikir olehmu benda apakah itu?” (lompatan 1), “dapatkah kita memilih dengan siapa ingin bertemu? Dengan siapa ingin berhubungan di dunia ini? Seandainya hidup adalah kepastian, agenda pertemuan kita bisa jadi akan hampir semua berisi tulisan “done”. Tetapi ini seperti sebuah keajaiban karena itu tersu berubah, mengambil bentuk yang kadang tak pernah kita kira. Dua hal yang relatif pasti di dunia adalah: perubahan dan kehendak” (lompatan 2), “ dalam diri tiap manusia ada kekuatan yang sedang tidur.

Manusia kerap lengah dan terlena dengan segala kemudahan yang tersaji di depan matanya, kekuatan itu pun terlelap. Manusia tak menyadari bahwa di bawah sadarnya lebih aktif dari yang ia kira. Ia tetap hidup dalam maya yang membuatnya cabar. Tetapi, pada titik nadir, ia akan bergeliat dan berujung pada kekuatan sendiri yang tak pernah ia sadari. Saya, anda, dan kalian semua punya kekuatan itu. Hanya butuhkan satu pemantik untuk membangunkannya” (lompatan 3), “siapakah engkau? Ini bukan pertanyaan yang dijawab dengan menyebutkan namamu. Ini adalah pertanyaan yang membutuhkan jawaban panjang tentang arti hadirmu bagi semesta. Kita semua berhubungan. Kelahiran yang satu akan memberikan warna bagi dunia. Keputusan yang kau buat, sekecil dan seringan apapun, akan membawa jejak pada kehidupan orang lain. Satu orang, adalah satu keping puzzle bagi jawaban tentang alam semesta” (lomparan 4), “tak ada satu rasa yang pernah tercatat dala hati menyerupai cinta.

Sudah berulang kali orang membicarannya, tetapi bahkan sang genius belum tentu mempunyai rumus tepatnya. Ia tak bisa diam, selalu menyodok untuk meminta perhatian, memancing untuk diketahui meskipun diendapkan terlalu dalam di dasar hati karena mata cinta tak bisa menipu. Cinta, sungguh memprovokasi hati” (lompatan 5), “siapakah yang dapat menentukan kebenaran? Atau menetapkan kesalahan? Ada beberapa kesepakatan universal, tetapi dunia tidak memungkiri bahwa secercah kontekstual menyertai dalam lingkaran benar dan salah. Jika kau berhak mengatakan dirimu benar dalam pandanganmu, maka orang lain pun berhak mengatakan benar dalam pandangannya sendiri. Benar dan salah punya konteksnya masing-masing” (lompatan 6), “apa itu putih? Kehadiran seluruh warna dengan cahaya maksumum. Ia menerima seluruh warna dengan proporsi yang seimbang. Cukup sampai disitu? Selalu ada definisi yang berbeda dari setiap pola. Selalu tak ada yang absolut bagi sesuatu yang hidup, kecuali kematian.

Bagaimana jika putih itu memudarkan? Hitam yang dicampur putih akan menjadi abu-abu, merah yang dicampur putih akan jadi pink, dan putih yang dicampur putih adalah kehampaan? Apakah kalian memiliki definisi yang berbeda?” (lompatan 7), “melalui intusi, kita dapat menentukan dengan siapa orang yang ingin kita temui, dengan siapa ingin kita hindari. Kita semua berhubungan dalam skenario alam semesta, seperti jaring laba-laba yang terkoneksi antara satu dan lainnya. Tetapi akhirnya, hanya kita sendiri yang memiliki jawaban masing-maisng tentang makna kehidupan. Temukan gerbangmu, bukalah, dan di sanalah kau akan menemukan jawaban” (lompatan 8), “selalu ada bagian dari dirimu yang hitam. Ada yang tersembunyi, ada yang begitu mengemuka. Bagi yang bersembunyi, ketika hitam itu sedang ingin mengemuka dan tak dapat kau tolak. Apa yang akan kau lakukan?

Beranikah kau menunjukan?” (lompatan 9), “kita adalah penjelajah, dengan ranah yang berbeda. Selalu berkelindan mencari ruang, yang menjadikan diri kita ada, untuk mencari yang tak terbatas. Lalu bagaimana dengan waktu? Apakah kita memiliki keleluasaan menjelajahinya? Adakah batas untuk penjelajahan kita?” (lompatan 10), “apa kekuatanmu? Matamu, tanganmu atau pikiranmu? Sejatinya manusia bisa menggambarkan itu untuk dirinya sendiri. Di sanalah kau akan berjaya, di sanalah kau akan berkelindan dan mengisi hangat dunia. Bisakah kau mencarinya untuk dirimu sendiri? Berdirilah didepan cermin, lalu jawablah. Apa yang dapat kau lakukan dengan kekuatan dalam hidupmu.

Berbagilah pada dunia dengan kekuatanmu” (lompatan 11), “kekuasaan, membangun imperium di atas kehendak orang lain. Kekuatan menegakan imperium diatas kelemhan orang lain. Tangan-tangan imperium melebar, meluas, menggeratak, terlihat begitu melenakan di awal. Namun tetap bau amis tak bisa hilang. Imperium, diciptakan atau dilahirkan?” (lompatan 12), “tidak akan pernah ada akhir. Karena setiap akhir adalah awal” (lompatan 13). Dari sana saya melihat kedalaman penulis dalam mengendapkan arti kehidupan, menjadikannya rumusan-rumusan pendek nan menarik yang diracik dalam filsafat timur yang baik. Prof. Damardjati Supadjar menerangkan Ekstase yang terjadi pada manusia super juga merupakan pengalaman mistis, spiritual yang berada pada puncak intuisi yang efektif, dalam arti kaya dengan aspek spiritual, diambang kesatuan kenyataan yang lebih tinggi. Hanya dalam keadaan tertentu, kontemplatif, ekstase dan diri yang bergeser ke arah wilayah yang lebih tinggi.

Di situ dunia inderawi ditinggalkan, digantikan oleh semesta lain, sehingga tercapailah suatu keseimbangan yang baru. “the putting to sleep “normal self” which usually wakes, and the awakening that transendental self “which usually sleep”, diri yang transendental itulah agaknya yang dimaksud Rudolp Eucken, sebagai manusia sejati, titik temu berbagai tingkatan realitas (man is the meeting-point of various stages of reality/”dew sinn und wert des lebens” dalam hubungan ini orang lalu mencapai aktivisme yang imperatif yaitu terputusnya hubungan dengan dunia inderawi, kelahiran “baru” kesadaran spiritual dan pengembangannya pada tingkatan yang lebih tinggi serta ketergantungan yang makin dekat pada kehidupan Ilahiah: partisipasi sadar dan kesatuan aktif dengan ketakterbatasan dan keabadian. Dalam bahasa Ranggawarsita suksma wahya, suksma dyatmika, suksma lana, suksma mulya, suksma sajati, suksma wasesa, suksma kawekas.

Jadi masalah ekstase seperti digambarkan dalam jalur novel ini adalah ekstase dalam rangka pengalaman spiritual, yang dalam khasanah kepustakaan mistis dikenal sebagai tahapan akhir, yaitu berturut-turut: Purgation Ilumination dan Ekstacy. Atau dalam bahasa Faridudin at-Tar tahapan seperti itu disebut tujuh “lembah” yaitu lembah pencarian, cinta, keinsyafan, kebebasan, ekstase, takjub dan fana-fi-il-lah. Kedua, saya melihat seperti juga Cok Sawitri dalam reviewnya bahwa, Komik silat Kho Ping Ho dapat menjadi akar ‘tandingan’ ketika membaca novel Iluminasi. Dalam serial silat Kho Ping Ho: ilmu berbisik jarak jauh, telepati, ilmu terbang melayang, berlari cepat, kemampuan memanjangkan tangan; bak manusia karet, kemampuan mengeluarkan api, termasuk menderukan angin, mendatangkan rasa sedingin salju, dan sebagainya: terbangun dari kisah pendekar-pendekar pilihan, yang terbelah antara dua, golongan hitam dengan putih, biasanya ‘sang hero’ memiliki kisah sedih dan menderita di awal kisah, kadang menyendiri, terbuang dalam pulau terpencil, jatuh ke dalam tebing curam, dsbnya dan pewarisan ‘kesaktian’ memang sering melalui garis ‘keturunan’, tidak direncanakan, yang didahului dengan liku-liku yang mengejutkan bagi calon ‘sang hero’.

Pun demikian membaca buku ini seperti layaknya kita menonton film avatar dan superhero lainnya, mungkin intensitas penulis berkecimpung dengan dunia komik kental terasa. Ketiga, saya melihat adanya usaha pertentangan kelas yang tidak hanya terletak pada hitam putih-baik dan buruk tapi ada pertentangan antara kubu White Light dan kubu Pure Black dalam hal kesadaran kelas, antara kaum borjuis dengan proletar. Marxisme kentara jelas disini. Keempat, saya merasa masuknya ajaran Budhisme yang diserap penulis dengan baik, banyaknya alur semedi/liturgi atau kontemplasi sejalan dengan pemahaman Budhisme yaitu ajaran tentang cara hidup, dalam hal ini termasuk pemikiran filosofis, pemurnian seluruh hidup yang terangkum dalam tiga pokok dari delapan langkah besar yaitu kebijaksanan, kelurusan dan semadi.

Aktivitas kontemplasi yang sering diilakukan manusia istimewa sejalan dengan arti merenung dalam pikir secara mendalam dan mendasar, mencerap energinya. “semua yang ada pada kita adalah hasil dari yang kita pikirkan” demikian tertulis dalam Dhammapada, tulisan sang Budha. Pandangan penulis tentang karma yang ada pada jiwa Ardhanareswari sang pemilik pendulum, saya lihat juga berasal dari pandangan tentang karma yang dipengaruhi oleh Hindu, karma merupakan hukum sebab akibat; setiap tindakan akan mendapat ganjarannya. Karena Realita Abadi Yang Satu berada diluar fenomena psikologis yang kita kenal sebagi “saya” atau “aku” , dan manusia ditentukan oleh penderitaan reinkarnasi, maka keselamatan terletak pada intuisi (penghayatan subjektif) dengan pengalaman intuitifnya tentang kebersatuan “saya” dengan semua yang ada dan Realita Yang Satu. Itulah penyelamatan dari karma dan dari segala hal yang terbatas. Kelima, selain ajaran Budha dan Hindu, penulis juga saya prediksi mengambil ajaran filsafat Cina, dimana untuk memasuki pemahaman lintasan semesta pasti harus berfikir bahwa fungsi dari alam semesta mencapai kesempurnaan setelah munculnya Tai Ji.

Tai Ji ini merupakan unsur perpaduan Yin dan Yang. Perpaduan yang disebut alam semesta, yang menjadikannya harmonis dan berfungsi dengan baik, lihat keinginan Shaman untuk menyatukan dan ambisinya tentang kedamaian dan evolusi manusia. Kenapa terlihat demikian, karena dalam pandangan filsafat Cina, manusia adalah agen alam yang bertujuan menyusun fondasi dari kebudayaan galaksi (galactic culture) dan ini merujuk pada arus keberadaan alam semesta. Kebudayaan ini berusaha menyatukan kebambali kebaikan dan harmoni, di novel ini ditunjukan dengan sebuah kekuatan super yang terangkum dalam pendulum surya. Dan harapan dari Dimensi Kelima yang mengharuskan golongan putih dan hitam menyatukan diri untuk mencapai dimensi kelima tersebut. Keenam, khusus untuk kemampuan gerak menembus ruang dan waktu yang dilakukan Ardhanareswari (Ar) seperti terlihat di Bab. 12 dapat ditelusuri dari sebuah konsep Filsafat Al-Kindi (Islam), dimana Al-Kindi sepakat dengan Aristoteles bahwa ada kesamaan antara gerak dan perubahan. Dalam definisinya “..peralihan dari potensi ke aktus” potensi adalah kemungkinan-kemungkinan yang dimiliki oleh sesuatu untuk berubah menjadi sesuatu yang lain. Sedangkan aktus adalah perwujudan dari potensi. Dan disini saya juga melihat penulis terinspirasi oleh prosesi Isra Mi’Raj Rasul Muhammad ke Sidratul Muntaha dengan kuda tunggangan bersayap bernama buraq, dan Ar disini dengan pendulum Surya-nya.

Ketujuh, yang terpenting dari keenam padangan itu, saya melihat adanya korelasi antara ide dasar dan alur fikir penulis dan karakter Shaman yang ingin membuat satu ras manusia istimewa, pemikiran ini penting karena sejalan dengan ide Naziisme yang dipropagandakan Hitler setelah bersentuhan dengan beberapa pemikiran diantaranya Darwin. Teori Darwin telah memasuki benak Hitler, bahkan meresap sampai ke tulang sumsum. Hal ini amat terasa dalam bukunya Mein Kampf (Perjuanganku). Ia menyamakan ras non-Eropa sebagai kera, walau itu tak terjadi di novel ini.

Dari dalam dirinya tumbuh ‘kekuatan’ yang mendapat inspirasi dari teori Darwin bahwa untuk mempertahankan hidup manusia harus bertarung. Ia menerjemahkan impiannya dengan menyerang Austria, Cekoslowakia, Perancis, Rusia, dll. Malah terbersit nafsu menguasai seluruh dunia. Ia mengadopsi konsep egenika yang menjadi dasar pijakan pandangan evolusionis Nazi. Egenika berarti ‘perbaikan’ ras manusia dengan membuang orang-orang berpenyakit dan cacat serta memperbanyak individu sehat. Sehingga menurut teori itu, ras manusia bisa diperbaiki dengan meniru cara bagaimana hewan berkualitas baik dihasilkan melalui perkawinan hewan yang sehat. Sedangkan hewan cacat dan berpenyakit dimusnahkan.

Hitler menerapkan teori itu dengan tangan besi. Orang-orang lemah mental, cacat, dan berpenyakit keturunan dikumpulkan dalam ‘pusat sterilisasi’ khusus. Karena dianggap parasit yang mengancam kemurnian rakyat Jerman dan menghambat kemajuan evolusi, maka atas perintah rahasianya, dalam waktu singkat mereka semua dibabat habis. Masih dalam eforia teori evolusi dan egenika, Nazi menghimbau muda-mudi berambut pirang bermata biru yang diyakini mewakili ras murni Jerman supaya berhubungan seks tanpa harus menikah. Pada 1935, Hitler memerintahkan didirikannya ladang-ladang khusus reproduksi manusia. Di dalamnya tinggal para wanita muda yang memiliki ras Arya. Para perwira SS (Schutzstaffel) sering mampir ke sana buat mesum dengan dalih egenika. Para bayi yang lahir kemudian disiapkan menjadi prajurit masa depan ‘Imperium Jerman’. Kenapa fakta ini menjadi penting karena pada tingkatan lembut konsepsi seperti yang dituliskan dalam kalimat “…Shaman meminta Jack untuk menjemput Ardhanareswari, dengan keinginan diri ataupun dipaksa. Ia buth waktu cepat untuk menjemput Ar. Dan Jack orang yang paling dipercaya melakukan itu.” Dan “…dirinya dan mereka adalah manusia istimewa yang beruntung, karena malam ini portal untuk kejayan mereka akan segera dibuka” dan lagi “…hampir semua manusia istimewa bisa melihatnya. Mereka sama sekali tidak takut, bahkan sudah terbiasa.

Bagaimanapun mereka adalah para pendahulu yang telah mewariskan kode genetik unik dalam kromosom pewarisnya. Sudah berabad-abad malam ini ditunggu. Satu manusia pilihan yangerupakan generasi paling sempurna dari pendahulunya akan melakukan perjalanan lintas dimensi untuk membuka portal. Ia memiliki kekuatan menembus waktu di masa depan dan mewarisi pendulum yang menyimpan energi maha dahyat untuk membuka dimensi kelima yang berisi curahan energi murni. Energi ini memenuhi alam semesta dan mengantarkan manusia mencapai titik evolusinya yang sempurna” memang terbaca samar tapi ada pesan yang saya persamakan dari ide dasarnya. pemikiran Adolf Hitler akan “Supremasi Jerman Raya” bertitik berat pada pandangan yang berlandaskan atas chauvinisme ras Arya Jerman.

Di mana sikap itu berkeyakinan bahwa bangsa Jerman-lah yang seharusnya memimpin dunia ini, karena bangsa lain dianggapnya sebagai kelas inferior. Charles Darwin Pendapatnya yang mengatakan “peperangan (perjuangan untuk mempertahankan hidup” pada mahluk hidup di alam. Oleh sebab itu, ide bahwa “yang kuat tetap hidup dan yang lemah akan musnah” mulai diterapkan juga pada manusia dan kehidupan dalam bermasyarakat. Justifikasi ilmiah Darwinisme inilah yang kemudian digunakan oleh Adolf Hitler untuk membangun ras super (di novel ini dikatakan manusia istimewa) Inspirasi terbesar dari Darwin terhadap Hitler adalah tentang pertaruhan (perjuangan) untuk mempertahankan kelangsungan hidup, ini juga menjadi bagian dari tujuan kelompok putih (white lihgt).

Disadari atau tidak, penulis juga memasukan paham yang sering kita lihat pada otak Hitler, dimana dia hikmat pada Niccolo Machiavelli, Yang paling menonjol dari dari ajaran Machiavelli terhadap pemikiran Adolf Hitler adalah menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya (itu juga terjadi pada jiwa Shaman) dan juga menghendaki pengontrolan terhadap kekuasaan, yaitu dengan cara membungkam setiap lawan politiknya (ini dilakuan tokoh Agni). Selain itu kesamaan alam pikir penulis juga sepertinya dari Freidrich Nietzsche, Pengaruh Nietzsche terhadap ideologi Nazi merupakan sebuah kenyataan yang ditekankan oleh begitu banyak sejarawan. Sebagaimana dinyatakan sejarawan H.F. Peters, banyak orang mengutuk Nietzsche sebagai “bapak fasisme”. Dalam bukunya, The Myth of the 20th Century, ideolog Nazi Alfred Rosenberg secara terbuka memuji Nietzsche. Hitlerjugend (Kaum Muda Hitler), sayap kepemudaan dari gerakan Nazi, menjadikan buku Nietzsche Thus Spake Zarathustra sebagai sebuah naskah keramat.

Adolf Hitler memerintahkan pembangunan monumen khusus untuk mengenang Nietzsche, dan merintis pendirian pusat-pusat pendidikan dan perpustakaan “di mana para pemuda Jerman dapat diajarkan doktrin Nietzsche mengenai ras unggul”. Nietzsche merupakan seseorang yang memuliakan individu yang bebas, besar, dan kuat, yaitu seseorang yang diadopsi oleh orang-orang Nazi dari ras arya. Beliau sering mengaburkan makna dari tulisan-tulisannya yang di interpretasikan oleh para psikolog dan eksestialis di abad ke-20. Setelah tahun 1889 beliau dinyatakan tidak waras secara permanen. Dan konsep ini tergambar jelas kerena dari awal novel ini beriasi fantasi pada ke-super-an manusia yang kuat dan sakti mandraguna. Bahwa dapat disimpulkan pemikiran yang diadopsi oleh Adolf Hitler yang mungkin menginsyafi penulis berlandaskan pada nilai-nilai, yaitu Rasisme, suatu sikap memandang rendah terhadap suatu individu atau kelompok yang dikarenakan atas suatu perbedaan yang menonjol berupa fisik, ras, etnis, suku, agama, politik, dan faktor ekonomi (dalam novel ini disebut ordinary). Yang kedua adalah Chauvinisme, suatu sikap nasionalisme yang berlebihan, yang dikelanjutannya menciptakan suatu konflik. Yang ketiga adalah Eugenetika, suatu ‘perbaikan’ ras manusia dengan membuang orang-orang berpenyakit dan cacat serta memperbanyak individu sehat.

Sehingga menurut teori itu, ras manusia bisa diperbaiki dengan meniru cara bagaimana hewan berkualitas baik dihasilkan melalui perkawinan hewan yang sehat. Sedangkan hewan cacat dan berpenyakit dimusnahkan. Yang keempat adalah Megalomaniac, suatu tindakan individu atau kelompok yang obsesi atau menggila-gilakan suatu penggunaan kekuasaan. Yang kelima adalah Utopist, suatu individu maupun kelompok yang menginginkan suatu negeri impian yang sempurna sesuai dengan cita-cintanya. Pemikirannya berasal dari para pemikir terdahulu seperti Machiavelli dalam Il Principe, Charles Darwin dalam Origin of Species, dan Friedrich Nietzsche dalam Thus Spake Zarathustra. Kedelapan, bertaburan simbol dalam novel ini, saya menjadi teringat pada analisis harun yahya tentang Naziisme bahwa “Sir Arthur Keith, seorang evolusionis terkenal berkata tentang Hitler: “Pemimpin Jerman, Hitler, adalah seorang evolusionis; ia dengan sengaja menjadikan Jerman sejalan dengan teori evolusi” (dan dalam novel ini White Lihgt memang berambisi untuk menegakan imperium dan mengendalikan seluruh proses evolusi). Alasan penting lain mengapa Hitler meyakini evolusi adalah bahwa ia menganggap teori ini sebagai senjata melawan agama. Hitler sangat anti terhadap keyakinan monoteistik.

Ajaran agama seperti cinta, kasih sayang dan kelembutan sangatlah bertentangan dengan model ras Arya yang bengis dan kejam. Itulah mengapa, sejak Nazi merebut kekuasaan tahun 1933, mereka bertujuan mengembalikan agama paganisme kuno pada masyarakat Jerman. Swastika, simbul yang berasal dari kebudayaan pagan kuno, menjadi simbul bagi perubahan ini. Perayaan-perayaan Nazi di setiap penjuru Jerman ternyata merupakan penghidupan kembali ritual-ritual pagan kuno. Seperti disebutkan sebelumnya, teori evolusi sendiri adalah warisan dari kebudayaan pagan.

Di sini kita saksikan kaitan tak terpisahkan antara Paganisme, Darwinisme dan Nazisme. Semua pembunuhan yang dilakukan Nazi berawal dari kepercayaan pagan ini. Kaum Nazi menghidupkan kembali kebudayaan biadab pagan dan mendapat dukungan kuat dari teori atheis Darwin untuk membenarkannya”. Untungnya lambang swastika tak muncul diantara lembaran indah itu. Untuk masalah ini tentu tak menjadi pokok masalah, hanya kesamaan dalam hal permainan simbol saja!. Terlepas dari subjektifitas penilaian saya terhadap asal usul ide-ide yang tertuang dalam novel ini, novel ini terbaca sebagai novel yang romantis, saya cuplikan sebagai penutup “Ar maklum. Ia menemukan mata teduh yang ia rindukan terus memandanginya. Mata itu, adalah novocaine bagi seluruh penatnya. Meluruhkan segala lelah dan perih yang ia rasakan. Membebat rasa perih dari sebuah kesendirian. Memandang mata itu, ia melupakan segala hal yang tercium sebagai kesendirian. Ia merasa dilindungi hanya dengan menatapnya.

Sekarang Ardhanareswari mengambil langkah medekati laki-laki itu. Zero masih terpaku ditempatnya, mengikuti gerak Ardhanareswari yang kian lekat di matanya. Perempuan itu lalu menjatuhkan dirinya di depan Zero. Tangannya meraih kedua tangan Zero. Merasukan jari jemarinya ke lekuk jemari laki-laki itu. Keduanya terbebat dalam rapat. Tak ada yang membumbung, hanya tatapan yang berbicara. Jika sudah begini, apakah cinta masih membutuhkan banyak cakap? Cinta masih mampu mengalir dalam diam.” indah, memendar ke selaksa sanubari!

0 komentar:

Posting Komentar