20.38

Menjadi Indonesia Melalui The Indonesia Choir

google.com

The Indonesia Choir

Bagaimanakah Anda mencintai Indonesia? Pertanyaan ini diajukan Romo Muji Sutrisno kepada penonton konser bertajuk Menjadi Indonesia yang dibawakan anak-anak, remaja, dan dewasa muda dari kelompok paduan suara The Indonesia Choir, dan The Indonesia Children Choir di Goethe Institute, akhir pekan lalu di Jakarta.

Tanpa menunggu jawaban dari penonton, Romo Muji menjawab sendiri pertanyaannya. “Ada yang mencintai Indonesia dengan membangun Taman Mini Indonesia Indah. Ada yang dengan cara mengurus PSSI (Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia)”.

Romo Muji betul. Banyak cara dilakukan manusia untuk mencintai negerinya, seperti kata filsuf Rene de Clerq, “Hanya ada satu negeri yang dapat menjadi negeriku. Negeri itu tumbuh dari perbuatan. Dan Perbuatan itu adalah perbuatanku.”

Sekelompok anak-anak dini usia, remaja, dan dewasa muda di Jakarta memilih caranya sendiri dalam mencintai negerinya.

Mereka memadukan suara sopran, mezzo sopran, alto, tenor, dan bass yang dianugerahkan Tuhan kepada jiwa dan tubuh untuk bersama-sama melantunkan lagu-lagu daerah Indonesia.

Suara-suara merdu itu diorganisasikan oleh konduktor Jay Wijayanto, seorang sarjana ilmu komunikasi lulusan Universitas Gadjah Mada yang mengabdikan hidupnya kepada musik dan seni peran.

Bintang dalam sekuel Laskar Pelangi, Sang Pemimpi itu dibantu dua kontuktor lainnya, Samuel Pangaribuan lulusan Teknik Arsitektur ITB, dan Natalia Turagan, arsitek lulusan Universitas Parahyangan.

Pilihan untuk mendendangkan lagu-lagu daerah –bukan lagu-lagu pop bertajuk cinta atau perselingkuhan yang marak di media massa komersil– adalah pilihan sadar yang dilakukan Jay di tengah keterasingan lagu-lagu rakyat dalam jagat industri musik saat ini yang melulu disadarkan pada perhitungan rugi laba.

Akibatnya, bukan hal yang aneh bila sekarang anak-anak Indonesia misalnya, lebih suka menyanyikan lagu-lagu pop bernuansa cengeng daripada melantunkan lagu-lagu rakyat daerah.

Pelan tapi pasti, lagu rakyat bukan lagi tuan di daerahnya sendiri.

Jay Wiyanto menjawab kegelisahan itu dengan membentuk paduan suara. Ia tidak lelah mengajak anak-anak, sejak dini, mencintai negeri ini dengan bersama-sama menyanyikan lagu-lagu daerah, dan mensyukuri keberagamannya.

Keanekaragaman itu juga ditampilkan di panggung. Pak Kim, seorang ekspatriat yang berada di Jakarta memimpin perusahan sepatu merek terkenal buatan Korea, diduetkan dengan gadis Manado dengan menyanyikan lagu Batak, Nasonang Do Hita Nadua.

“Anda tahu darimana asal Pak Kim?”, tanya Jay yang dalam pagelaran itu berlaku sebagai konduktor merangkap pembawa acara.

Melihat sosok Kim, seorang penonton spontan menjawab, Korea!

Sambil berkelakar Jay balik berkata, “Bukan, tetapi Kroya, Jawa Tengah..”

Mencintai Indonesia dengan cara-cara Indonesia dilakukan Jay Wijayanto di The Indonesia Choir.

Ia mengubah penampilan konser musik yang biasanya serius dengan penonton sopan, menjadi penampilan musik khas budaya Indonesia yang interaktif tak ubahnya menonton ketoprak, ataupun wayang orang.

Selain berdialog dengan penonton, Jay juga mengajak penonton tampil di panggung untuk menjawab pertanyaan yang ia lontarkan sebelum satu nyanyian dibawakan para penyanyi.

Jay tampaknya gelisah melihat nasib lagu-lagu daerah yang jarang dinyanyikan anak-anak masa kini yang lebih menyenangi budaya pop.

Kegelisahan itu ia jawab dengan mengangkat lagu-lagu Aceh, Batak, Minangkabau, Melayu, Ambon, Papua, Bali, Madura, dan daerah lainnya ke panggung konser musik.

Dan, dari mulut-mulut kecil anak-anak yang tergabung dalam The Indonesia Children Choir terdengar indah lagu Tanah Air gubahan Ibu Sud yang mampu membuat diri merinding, larut dalam kebanggaan dan kecintaan kepada Indonesia.

0 komentar:

Posting Komentar