Bukan modal dalam bentuk uang tunai yang diminta para petani salak Bali saat menerima kunjungan Akhtar Badshah, Senior Director Global Community Affairs Microsoft dan timnya, Clair Deevy, Microsoft’s Asia Citizenship Communication Manager dan Tricia Iskandar, Microsoft Indonesia’s Community Affairs & Citizenship Manager ke Bali. Mereka justru minta tambahan komputer.

Kok bisa? Begitulah petani di era digital sekarang. Meski jauh di ujung timur Bali dan jauh dari hiruk pikuk parisiwata di Pulau Dewata tersebut, Desa Sibetan, Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem, Bali sudah mengenal baik teknologi komputer bahkan internet.

Ini berkat hadirnya sebuah CTC (Community Technology Center) yang didirikan Kalimajari, sebuah LSM di Bali, dengan dukungan Microsoft. CTC dikelola bersama di kelompok tani Werdhi Guna yang sudah didampingi Kalimajari sejak tahun 2004. Tiga perangkat komputer, printer, berikut akses internet pun untuk pertama kalinya hadir di sana.

Komputer telah menjadi bagian kehidupan sehari-hari para petani Sibetan selama dua tahun terakhir. Memang tak semua petani peduli dan mau mencoba menggunakan. Namun, setidaknya anak-anak mereka hampir setiap hari berkawan komputer dan internet. Saat ditemui Kompas.com dan tim Microsoft, Jumat (12/3/2010) lalu, ketiga komputer tengah dipakai anak-anak setingkat SMP dan SMA. Umumnya mereka menggunakan komputer dan internet untuk mencari tambahan informasi pelajaran di sekolah.

“Karena terbatas, anak-anak harus ngantri. Saya punya foto saat anak-anak mengantri sampai panjang saat pertama kali CTC dibuka,” kata IGAA Widiastuti, Direktur Kalimajari yang akrab dipanggil Widi. Ia mengatakan komputer dan internet menjadi fasilitas baru yang memperkaya kegiatan komunitas petani di Sibetan.

Tapi, bayangkan saja, tiga buah komputer dipakai bersama untuk satu desa yang berpenduduk sekitar 5000 jiwa. Fasilitas warnet terdekat berjarak 15 kilometer dari Desa Sibetan. Wajar lah kalau mereka merasa perlu tambahan komputer.

Fasilitas teknologi informasi di Werdhi Guna pun diakui turut membantu para petani lebih berdaya. Dari informasi di internet itulah mereka mendapatkan teknik pertanian yang lebih maju dan pengolahan hasil pertanian yang lebih efektif. Internet juga mulai menjadi media komunikasi untuk memperkenalkan produk Werdhi Guna ke luar daerah.

“Misalnya, dari informasi di internet itulah mereka tahu kalau untuk membuat keripik salak yang benar-benar kering harus di-freezer semalaman sebelum diolah pagi harinya,” jelas Widi yang fokus mendampingi para petani penghasil produk lokal.

Industri olahan salak

Sebelum tiga komputer dan akses internet itu hadir, warga yang kebanyakan bertani salak itu sebenarnya sudah mulai menjajaki indutri olahan salak dan tidak hanya menjual dalam bentuk buah segar setiap musim panen. Alasannya, setiap musim panen, petani harus benar-benar berhitung agar semua hasilnya terjual karena salak mudah busuk dalam beberapa hari. Tak hanya itu, harga salak tiba-tiba turun drastis karena pasokan mendadak melambung. Bagaimana tidak membuat para petani menjerit dan hanya bisa pasrah, waktu panen, harga salak bisa turun hingga Rp 500 per kilogram.

“Saat itu, kami berpikir harus melakukan sesuatu agar produk lokal punya added value,” kata Widi. Maka, sejak tahun 2004, Kalimajari yang dimotori putri asli Bali itu mulai melakukan pendampingan. Awalnya, mereka memanfaatkan dukungan dana Bali Rehabilitation Fund dari Ausaid.

Satu mesin vacuum dan satu mesin pengering pun mulai beroperasi. Para petani diarahkan agar mulai membuat olahan salak sebagai alternatif sebelum produksinya dijual ke pasar. Industri keripik salak ternyata mengunguntungkan dan produknya menembus pasar oleh-oleh di Denpasar termasuk di Bandara Ngurah Rai. Usaha mereka pun mulai dilirik pemerintah daerah dan mendapatkan dukungan dari Departemen Perdagangan Kabupaten Karangasem sehingga mesin pengolahan menjadi tiga buah.

Kini, mereka juga bisa sedikit bernapas lega karena salak hasil kebunnya bisa dijual kapan saja sepanjang tahun. Saat ini salak yang dihasilkan setiap kali musim panen besar tiba ternyata sekarang tidak semuanya harus dijual ke pasar sesegera mungkin. Setengahnya memang masih dijual dalam bentuk buah utuh. Namun, sisanya dipisahkan dan diolah menjadi berbagai macam produk olahan. Awalnya hanya kripik salak, lama-lama juga dibuat dodol, manisan, bahkan kini tengah diuji coba produksi selai dan arak salak.

Hampir tak ada bagian buah salak yang kini terbuang. Buah yang besar dan matang dijadikan bahan baku keripik. Buah yang berukuran kecil dijadikan manisan. Buah anakannya yang tidak berbiji menjadi dodol dan yang hampir busuk diubah menjadi arak salak yang ternyata manis dan harum baunya.

Tak cukup sampai industri pengolahan, komunitas petani Werdhi Guna kini juga menjajaki usaha agrowisata. Kebun salak seluas 10 hektare disulap menjadi kawasan wisata agro. pengunjung dapat menyusuri jalan setapak di dalam kebun, mencicipi buahnya, melihat proses pembuatan olahan salak, sekaligus membeli oleh-oleh. “Sudah ada beberapa rombongan turis dari Eropa yang datang ke sini untuk melihat-lihat,” kata Wayan Sudi, salah satu pengleola CTC Werdhi Guna.

Werdhi Guna saja tak cukup. Andai manfaat CTC bisa ditularkan lebih luas kepada para petani salak lainnya di luar kelompok tani Werdhi Guna.